cerpen
Hari itu, langit terlihat cerah. Tak ada warna kelabu,
hanya gumpalan awan putih berlatar langit biru. Semoga saja hujan tidak
turun, harapku. Aku berlari, berlomba dengan sang waktu. Kulirik arloji
di pergelangan kiriku. Berharap kali ini aku tak didahului oleh waktu.
Kumohon, buat aku bertemu dengannya hari ini, bisikku pada Tuhan.
Aku memutar kenop pintu yang mengarah ke bagian atap gedung tua di
tengah kota hujan. Baru saja aku bergerak satu langkah, sang kelabu
datang. Menutupi seluruh langit yang tadi terang. Membuat suasana
berubah menjadi sendu, tak menyenangkan. Dan perlahan satu-persatu
butiran air hujan menjatuhkan dirinya. Ah, dia tak mungkin datang kalau
hujan seperti ini. Mungkin esok hari.
Sudah berhari-hari kota ini diguyur hujan. Hari ini pun begitu. Pagi
yang kupandang lurus ke luar jendela. Butiran-butiran air menetes di
jendela. Hujan. Lagi.
“Sepertinya hujannya akan awet,” ujar salah satu pegawaiku yang tengah
sibuk meracik minuman baru untuk menu di kedai kopiku. Aku menghela
nafas panjang. Hujan kembali memupuskan harapanku untuk bertemu
dengannya.
Yang kulakukan pertama kali pagi ini adalah menatap keluar jendela.
Pagi hari rintik hujan telah menyambutku. Gerimis. Aku menyatukan kedua
telapak tanganku, menundukkam kepalaku. Ya Tuhan, semoga aku bisa
bertemu dengannya hari ini, doaku.
Kupercepat langkahku menaiki anak tangga. Belum terdengar suara
rintik hujan. Senyumku mengembang. Aku bertemu dengannya hari ini.
Akhirnya setelah menunggu sekian lama. Aku mengeluarkan sesuatu dari tas
ranselku. Sebuah kamera instax lembayung. Kutatap jarum arlojiku. Tepat
waktu. Kuarahkan lensa kamera lurus ke depan, ke arah langit yang
perlahan berubah menjadi jingga. Kupotret lukisan sang senja lalu
kutaruh lembaran fotonya di selipan jurnal. Lagi-lagi aku tersenyum
dibuatnya.
“Akhirnya kita bisa bertemu, senja,”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar