Kamis, 18 September 2014

cerpen


Menanti Sang Senja

Hari itu, langit terlihat cerah. Tak ada warna kelabu, hanya gumpalan awan putih berlatar langit biru. Semoga saja hujan tidak turun, harapku. Aku berlari, berlomba dengan sang waktu. Kulirik arloji di pergelangan kiriku. Berharap kali ini aku tak didahului oleh waktu. Kumohon, buat aku bertemu dengannya hari ini, bisikku pada Tuhan.

Aku memutar kenop pintu yang mengarah ke bagian atap gedung tua di tengah kota hujan. Baru saja aku bergerak satu langkah, sang kelabu datang. Menutupi seluruh langit yang tadi terang. Membuat suasana berubah menjadi sendu, tak menyenangkan. Dan perlahan satu-persatu butiran air hujan menjatuhkan dirinya. Ah, dia tak mungkin datang kalau hujan seperti ini. Mungkin esok hari.

Sudah berhari-hari kota ini diguyur hujan. Hari ini pun begitu. Pagi yang kupandang lurus ke luar jendela. Butiran-butiran air menetes di jendela. Hujan. Lagi.
“Sepertinya hujannya akan awet,” ujar salah satu pegawaiku yang tengah sibuk meracik minuman baru untuk menu di kedai kopiku. Aku menghela nafas panjang. Hujan kembali memupuskan harapanku untuk bertemu dengannya.

Yang kulakukan pertama kali pagi ini adalah menatap keluar jendela. Pagi hari rintik hujan telah menyambutku. Gerimis. Aku menyatukan kedua telapak tanganku, menundukkam kepalaku. Ya Tuhan, semoga aku bisa bertemu dengannya hari ini, doaku.

Kupercepat langkahku menaiki anak tangga. Belum terdengar suara rintik hujan. Senyumku mengembang. Aku bertemu dengannya hari ini. Akhirnya setelah menunggu sekian lama. Aku mengeluarkan sesuatu dari tas ranselku. Sebuah kamera instax lembayung. Kutatap jarum arlojiku. Tepat waktu. Kuarahkan lensa kamera lurus ke depan, ke arah langit yang perlahan berubah menjadi jingga. Kupotret lukisan sang senja lalu kutaruh lembaran fotonya di selipan jurnal. Lagi-lagi aku tersenyum dibuatnya.

“Akhirnya kita bisa bertemu, senja,”


Tidak ada komentar:

Posting Komentar